Persamaan dan
Perbedaan Sholat 4 Mazhab
Hasil kajian
Pengajian Bulanan
Musholla
Al-Hidayah BAS
Assalamu’alaikum,
Wr. Wb.
Bismillahirahmanirahim
Mukaddimah
Shalat
merupakan rukun kedua dari lima rukun Islam. Umat Islam sepakat bahwa
menjalankan ibadah shalat 5 waktu (subuh, dhuhur, ashar, maghrib, dan isya’)
adalah kewajiban. Tapi ternyata banyak perbedaan dalam menjalankan ibadah
shalat, meskipun hukumnya sama-sama wajib.
Isi:
Semua orang Islam sepakat bahwa orang yang menentang kewajiban shalat wajib
lima waktu atau meragukannya, ia bukan termasuk orang Islam, sekalipun ia
mengucapkan syahadat, karena shalat termasuk salah satu rukun Islam.
Para ulama mazhab berbeda pendapat
tentang hukum orang yang meninggalkan shalat karena malas dan meremehkan, dan
ia meyakini bahwa shalat itu wajib.
Syafi’i, Maliki dan Hambali:
Harus dibunuh,
Hanafi: ia harus ditahan
selama-lamanya, atau sampai ia shalat.
Rukun-rukun dan Fardhu-fardhu Shalat:
1.
Niat: semua ulama mazhab sepakat
bahwa mengungkapkan niat dengan kata-kata tidaklah diminta.
Ibnu
Qayyim berpendapat dalam bukunya Zadul Ma’ad, sebagaimana yang
dijelaskan dalam jilid pertama dari buku Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah,
sebagai berikut : Nabi Muhammad saw bila menegakkan shalat, beliau langsung
mengucapkan “Allahu akbar” dan beliau tidak mengucapkan apa-apa sebelumnya, dan
tidak melafalkan niat sama sekali.
2. Takbiratul
Ihram: shalat tidak akan sempurna tanpa takbiratul ihram. Nama takbiratul
ihram ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW “Kunci shalat adalah bersuci, dan yang mengharamkannya (dari perbuatan
sesuatu selain perbuatan-perbuatan shalat) adalah takbir, dan
penghalalnya adalah salam.”
Maliki dan Hambali : kalimat takbiratul ihram adalah
“Allah Akbar” (Allah Maha Besar) tidak boleh menggunakan kata-kata lainnya.
Syafi’i: boleh mengganti “Allahu Akbar” dengan ”Allahu Al-Akbar”,
ditambah dengan alif dan lam pada kata “Akbar”.
Hanafi: boleh dengan kata-kata lain yang sesuai atau sama artinya dengan
kata-kata tersebut, seperti “Allah Al-A’dzam” dan “Allahu Al-Ajall” (Allah Yang
Maha Agung dan Allah Yang Maha Mulia).
Syafi’i, Maliki dan Hambali sepakat bahwa mengucapkannya dalam
bahasa Arab adalah wajib, walaupun orang yang shalat itu adalah orang ajam
(bukan orang Arab).
Hanafi: Sah mengucapkannya
dengan bahasa apa saja, walau yang bersangkutan bisa bahasa Arab.
Semua ulama mazhab sepakat
: syarat takbiratul ihram adalah semua yang disyaratkan dalam shalat.
Kalau bisa melakukannya dengan berdiri; dan dalam mengucapkan kata “Allahu
Akbar” itu harus didengar sendiri, baik terdengar secara keras oleh dirinya,
atau dengan perkiraan jika ia tuli.
3. Berdiri:
semua ulama mazhab sepakat bahwa berdiri dalam shalat fardhu itu wajib
sejak mulai dari takbiratul ihram sampai ruku’, harus tegap, bila tidak
mampu ia boleh shalat dengan duduk. Bila tidak mampu duduk, ia boleh shalat
dengan miring pada bagian kanan, seperti letak orang yang meninggal di liang
lahat, menghadapi kiblat di hadapan badannya, menurut kesepakatan semua
ulama mazhab selain Hanafi. Hanafi berpendapat: siapa yang tidak
bisa duduk, ia boleh shalat terlentang dan menghadap kiblat dengan dua kakinya
sehingga isyaratnya dalam ruku’ dan sujud tetap menghadap kiblat. Dan bila
tidak mampu miring ke kanan, maka menurut Syafi’i dan Hambali ia
boleh shalat terlentang dan kepalanya menghadap ke kiblat. Bila tidak mampu
juga, ia harus mengisyaratkan dengan kepalanya atau dengan kelopak matanya.
Hanafi:
bila sampai pada tingkat ini tetapi tidak mampu, maka gugurlah perintah shalat
baginya, hanya ia harus melaksanakannya (meng-qadha’-nya) bila telah
sembuh dan hilang sesuatu yang menghalanginya. Maliki: bila sampai
seperti ini, maka gugur perintah shalat terhadapnya dan tidak diwajibkan meng-qadha’-nya.
Syafi’i dan Hambali : shalat itu tidaklah gugur dalam keadaan apa
pun. Maka bila tidak mampu mengisyaratkan dengan kelopak matanya (kedipan
mata), maka ia harus shalat dengan hatinya dan menggerakkan lisannya
dengan dzikir dan membacanya. Bila juga tidak mampu untuk menggerakkan
lisannya, maka ia harus menggambarkan tentang melakukan shalat di dalam hatinya
selama akalnya masih berfungsi.
4.
Bacaan: ulama mazhab berbeda pendapat.
Hanafi:
membaca Al-Fatihah dalam shalat fardhu tidak diharuskan, dan membaca bacaan apa
saja dari Al-Quran itu boleh, berdasarkan Al-Quran surat Muzammil ayat 20: ”Bacalah apa yang mudah bagimu dari
Al-Quran,” (Bidayatul Mujtahid, Jilid I, halaman 122, dan Mizanul
Sya’rani, dalam bab shifatus shalah).
Boleh meninggalkan basmalah,
karena ia tidak termasuk bagian dari surat. Dan tidak disunnahkan membacanya
dengan keras atau pelan. Orang yang shalat sendiri ia boleh memilih apakah mau
didengar sendiri (membaca dengan perlahan) atau mau didengar oleh orang lain
(membaca dengan keras), dan bila suka membaca dengan sembunyi-sembunyi, bacalah
dengannya. Dalam shalat itu tidak ada qunut kecuali pada shalat witir.
Sedangkan menyilangkan dua tangan adalah sunnah bukan wajib. Bagi lelaki adalah
lebih utama bila meletakkan telapak tangannya yang kanan di atas belakang
telapak tangan yang kiri di bawah pusarnya, sedangkan bagi wanita yang lebih
utama adalah meletakkan dua tangannya di atas dadanya.
Syafi’i:
membaca Al-Fatihah adalah wajib pada setiap rakaat tidak ada bedanya, baik pada
dua rakaat pertama maupun pada dua rakaat terakhir, baik pada shalat fardhu
maupun shalat sunnah. Basmalah itu
merupakan bagian dari surat, yang tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apa
pun. Dan harus dibaca dengan suara keras pada shalat subuh, dan dua rakaat
pertama pada shalat maghrib dan isya’, selain rakaat tersebut harus dibaca
dengan pelan. Pada shalat subuh disunnahkan membaca qunut setelah mengangkat kepalanya dari ruku’ pada rakaat
kedua sebagaimana juga disunnahkan membaca surat Al-Quran setelah membaca
Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama saja. Sedangkan menyilangkan dua tangan bukanlah wajib, hanya disunnahkan bagi
lelaki dan wanita. Dan yang paling utama adalah meletakkan telapak tangannya
yang kanan di belakang telapak tangannya yang kiri di bawah dadanya tapi di
atas pusar dan agak miring ke kiri.
Maliki:
membaca Al-Fatihah itu harus pada setipa rakaat, tak ada bedanya, baik pada
rakaat-rakaat pertama maupun pada rakaat-rakaat terakhir, baik pada shalat
fardhu maupun shalat sunnah, sebagaimana pendapat Syafi’i, dan
disunnahkan membaca surat Al-Quran setelah Al-Fatihah pada dua rakaat yang
pertama. Basmalah bukan
termasuk bagian dari surat, bahkan disunnahkan untuk ditinggalkan. Disunnahkan
menyaringkan bacaan pada shalat subuh dan dua rakaat pertama pada shalat
maghrib dan isya’, serta qunut
pada shalat subuh saja. Sedangkan menyilangkan kedua tangan adalah boleh,
tetapi disunnahkan untuk mengulurkan dua tangan pada shalat fardhu.
Hambali:
wajib membaca Al-Fatihah pada setiap rakaat, dan sesudahnya disunnahkan membaca
surat Al-Quran pada dua rakaat yang pertama. Dan pada shalat subuh, serta dua
rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’ disunnahkan membacanya dengan
nyaring. Basmalah merupakan
bagian dari surat, tetapi cara membacanya harus pelan-pelan dan tidak boleh
dengan keras. Qunut hanya
pada shalat witir bukan pada shalat-shalat lainnya. Sedangkan
menyilangkan dua tangan disunahkan bagi lelaki dan wanita, hanya yang paling
utama adalah meletakkan telapak tangannya yang kanan pada belakang telapak
tangannya yang kiri, dan meletakkan di bawah pusar.
Empat
mazhab menyatakan bahwa membaca amin adalah
sunnah, berdasarkan hadits Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda: ”kalau ingin mengucapkan Ghairil
maghdzubi ’alaihim waladzdzaallin, maka kalian harus mengucapkan amin.”
Ada beberapa kata
yang mirip untuk kata “Aamiin“.
a. Ø£َÙ…ِÙŠْÙ†ٌ (a:pendek, min:panjang), artinya: orang
yang amanah atau terpercaya’.
b. Ø£ٰÙ…ِÙ†ْ (a:panjang, min:pendek), artinya:
berimanlah atau ‘berilah jaminan keamanan’.
Ketika shalat, kita
tidak boleh membaca “Amin”
dengan dua cara baca di atas.
c. آمِّÙŠْÙ†َ (a:panjang 5 harakat, mim: bertasydid, dan min: panjang), artinya: orang
yang bermaksud menuju suatu tempat.
Ada sebagian ulama
yang memperbolehkan membaca “Amin”
dalam shalat dengan bentuk bacaan semacam ini. Demikian keterangan Al-Wahidi.
Imam An-Nawawi mengatakan, “Ini adalah pendapat yang sangat aneh. Kebanyakan
ahli bahasa menganggapnya sebagai kesalahan pengucapan orang awam. Beberapa
ulama mazhab kami (Mazhab Syafi’i) mengatakan: Siapa saja yang membaca ‘Amin’
dengan model ini dalam shalatnya maka shalatnya batal.’” (At-Tibyan fi Adab
Hamalatil Qur’an, hlm. 134)
d.
Ø£ٰÙ…ِÙŠْÙ†َ (a: panjang 2 harakat
karena mengikuti mad badal,
min: panjang
4–6 harakat karena mengikuti mad
‘aridh lis sukun, dan nun
dibaca mati), artinya ‘kabulkanlah’. Inilah
bacaan “Amin” yang
benar.
Cara Mengucapkan
“Amin”
Al Imam An Nawawi Asy Syafi’i rohimahullah mengatakan
ada 4 cara mengucapkan amin.
a.
Dengan memanjangkan
hamzah dan memendekkan mim (Aamin). Beliau mengatakan inilah cara mengucapkan
yang paling fasih.
b.
Dengan memendekkan
hamzah dan mim (amin). Beliau mengatakan dua cara baca ini adalah dua cara baca
yang paling terkenal.
c.
Dengan imalah dan memanjangkan
diantaranya (ameen). Al Wahidi meriwayatkan cara baca ini dari Hamzah, demikian
juga Al Kisa’i meriwayatkan cara membaca ini.
d.
Dengan mentasdid mim dan memanjangkannya
(Ammiin). Al Wahidi meriwayatkan cara membaca ini dari Al Hasan dan Al Husain
bin Fadhl.
5. Ruku’:
semua ulama mazhab sepakat bahwa ruku’ adalah wajib di dalam shalat.
Namun mereka berbeda pendapat tentang wajib atau tidaknya ber-thuma’ninah di dalam ruku’,
yakni ketika ruku’ semua anggota badan harus diam, tidak bergerak.
Hanafi:
yang diwajibkan hanya semata-mata membungkukkan badan dengan lurus, dan tidak
wajib thuma’ninah.
Mazhab-mazhab yang lain: wajib membungkuk sampai dua telapak tangan orang yang
shalat itu berada pada dua lututnya dan juga diwajibkan ber-thuma’ninah dan diam (tidak
bergerak) ketika ruku’.
Syafi’i,
Hanafi, dan
Maliki : tidak wajib berdzikir ketika shalat, hanya disunnahkan saja
mengucapkan: Subhaana rabbiyal ’adziim
”Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung”
Hambali: membaca tasbih ketika ruku’ adalah wajib. Kalimatnya:
Subhaana rabbiyal ’adziim ”Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung”
Hanafi:
tidak wajib mengangkat kepala dari ruku’ yakni i’tidal (dalam keadaan
berdiri). Dibolehkan untuk langsung sujud, namun hal itu makruh.
Mazhab-mazhab yang lain: wajib mengangkat kepalanya dan ber-i’tidal,
serta disunnahkan membaca tasmi’, yaitu mengucapkan:
Sami’allahuliman hamidah ”Allah mendengar orang yang
memuji-Nya”.
6. Sujud:
semua ulama mazhab sepakat bahwa sujud itu wajib dilakukan dua kali pada
setipa rakaat. Mereka berbeda pendapat tentang batasnya.
Maliki, Syafi’i, dan
Hanafi: yang wajib (menempel) hanya dahi, sedangkan yang lain-lainnya
adalah sunnah.
Hambali : yang diwajibkan itu
semua anggota yang tujuh (dahi, dua telapak tangan, dua lutut, dan ibu jari dua
kaki) secara sempurna. Bahkan Hambali menambahi hidung, sehingga menjadi
delapan. Perbedaan juga terjadi pada tasbih
dan thuma’ninah di dalam
sujud, sebagaimana dalam ruku’. Maka mazhab yang mewajibkannya di dalam ruku’
juga mewajibkannya di dalam sujud.
Hanafi: tidak diwajibkan
duduk di antara dua sujud itu.
Mazhab-mazhab yang lain
: wajib duduk di antara dua sujud.
7. Tahiyyat:
tahiyyat di dalam shalat dibagi menjadi dua bagian: pertama yaitu tahiyyat
yang terjadi setelah dua rakaat pertama dari shalat maghrib, isya’, dzuhur, dan
ashar dan tidak diakhiri dengan salam. Yang kedua adalah tahiyyat yang
diakhiri dengan salam, baik pada shalat yang dua rakaat, tiga, atau empat
rakaat.
Hambali:
tahiyyat pertama itu wajib. Mazhab-mazhab lain: hanya sunnah.
Syafi’i,
dan
Hambali: tahiyyat terakhir adalah wajib.
Maliki
dan
Hanafi: hanya sunnah, bukan wajib.
Kalimat tahiyyat
menurut Hanafi:
Attahiyatu
lillahi washolawaatu waththoyyibaatu wassalaamu
”Kehormatan itu kepunyaan Allah, shalawat dan kebaikan serta salam sejahtera”
’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
”Kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya”
Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
”Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang
saleh”
Asyhadu anlaa ilaaha illallah
”Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah”
Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
”Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”
Menurut Maliki
Attahiyyatu
lillaahi azzaakiyaatu lillaahi aththoyyibaatu ashsholawaatu lillah
”Kehormatan itu kepunyaan Allah, kesucian bagi Allah, kebaikan dan shalawat
juga bagi Allah”
Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
”Salam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya”
Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
”Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang
saleh”
Asyhadu anlaa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah
”Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa tidak ada sekutu
bagi-Nya”
Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
”Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”
Menurut
Syafi’i:
Attahiyyatul
mubaarokaatush sholawaatuth thoyyibaatu lillaah
”Kehormatan, barakah-barakah, shalawat, dan kebaikan adalah kepunyaan Allah”
Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
”Salam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya”
Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
”Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang
saleh”
Asyhadu anlaa ilaaha illallah
”Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah”
Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
”Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”
Menurut
Hambali:
Attahiyyatu
lillahi washsholawaatu waththoyyibaatu
”Kehormatan itu kepunyaan Allah, juga shalawat dan kebaikan”
Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
”Salam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya”
Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
”Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang
saleh”
Asyhadu anlaa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah
”Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa tidak ada sekutu
bagi-Nya”
Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
”Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”
Allahumma sholli ’alaa muhammad
”Ya Allah, berikanlah shalawat kepada muhammad”.
8. 8. Mengucapkan Salam
Syafi’i,
Maliki, dan
Hambali: mengucapkan salam adalah wajib.
Hanafi:
tidak wajib. (Bidayatul Mujtahid, Jilid I, halaman 126).
Menurut
empat mazhab, kalimatnya sama yaitu:
Assalaamu’alaikum warahmatullaah ”Semoga kesejahteraan dan
rahmat Allah tercurah kepada kalian”
Hambali:
wajib mengucapkan salam dua kali, sedangakan yang lain hanya mencukupkan satu
kali saja yang wajib.
9.
Tertib: diwajibkan tertib antara
bagian-bagian shalat. Maka takbiratul Ihram wajib didahulukan dari
bacaan Al-Quran (salam atau Al-Fatihah), sedangkan membaca Al-Fatihah wajib
didahulukan dari ruku’, dan ruku’ didahulukan dari sujud, begitu seterusnya.
10. Berturut-turut:
diwajibkan mengerjakan bagian-bagian shalat secara berurutan dan langsung, juga
antara satu bagian dengan bagian yang lain. Artinya membaca Al-Fatihah langsung
setelah bertakbir tanpa ada selingan. Dan mulai ruku’ setelah membaca
Al-Fatihah atau ayat Al-Quran, tanpa selingan, begitu seterusnya. Juga tidak
boleh ada selingan lain, antara ayat-ayat, kalimat-
Wallahu
a’alam bisshawab
Wassalamu’alaikum,
Wr. Wb.
Daftar Pustaka:
1. Al-Qur’an
2. Al-Hadits
3. Muhiddin
Abi Zakaria Bin Syarif An-Nawawi “Al-Adzkar”.
4. Zaenuddin Al-Marabari ”Fathul Mu’in”.
5. Mughniyah,
Muhammad Jawad. ”Fiqih Lima Mazhab”.
6. Abdul
Wahhab Bin Ahmad Bin Ali Al-Anshori “ MiZanul Kubro”
Pengurus Forum Ilmu
dan Kajian Ajaran Islam
(AL-FIKRI)
MUSHOLLA AL-HIDAYAH
BAS
Penanggung
Jawab: Bapak Kasni
(Ketua
DKM Al-Hidayah BAS)
Ketua : Bapak Ust. Ahmad Idris
Sekretaris : Bapak Wanto
Bendahara : Bapak Syafe’i
Anggota :
1. Bapak
Ust. Abdul Syukur
2. Bapak
Ust. Asep Sugara
3. Bapak
Ust. Suhaefi
4. Bapak
Ust. Agung
Kritik dan saran untuk
kesempurnaan harap dikirim melalui sms ke No. 081316032474, 085888111908